Pengunjung Online

Cerpen




Langsung saja, kali ini saya akan sedikit berbagi Cerita Pendek 

1. Kelulusan Sekolah                                      Read  Download
2. Setiap langkah adalah anugerah          Read  Download
3. Masa putih abu-abu                                  Read  Download
4. The Last First Love                                    Read  Download
5. Yang sudah berlalu biarlah berlalu     Read  Download
6. Terjebak Nostalgia                                    Read  Download
7. Dia Cinta Sejatiku                                       Read  Download
8. Setiap langkah adalah anugerah          Read  Download
9. Merelakan cinta untuk sahabat             Read  Download
10. Cinta di Bus Kota                                     Read  Download
11. Cinta sang Cicak                                         Read  Download
12. Malam bertabur bintang                       Read  Download








Berikut Beberapa Cerpen Paling Sering Dibaca dan Didownload Survei 20 Desember 2016




Dia Cinta Sejatiku


Senyumnya membuat hati ini seolah-olah luluh lantah tak berdaya. Aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya. Tapi aku tak tahu? Apakah dia merasakan hal yang sama denganku. Aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan ini. Aku takut ia menolak. Biarkan aku memendamrasainisendiri.
Istirahat sekolah. Aku melihatnya bercNevidza gurau dengan temen-temannya. Sesekali aku memNevidzanginya, namun ia balik memNevidzangiku. Al hasil, aku malu, dan segera
memlingkan wajahku darinya dan meninggalkan tempat tersebut.

Dia adalah teman sekelasku. Namanya Nevidza, anak seorang TNI. Dia selalu menadi juara kelas karena ketekunannya belajar. Dia juga dikenal sebagai orang yang ramah dan baik. Apalagi kalau punya pacar. Dia perhatian banget sama pacarnya itu. Ingin
aku mendapatkan perhatian itu.




Hari kamis, tepatnya pelajaran fisika. Ada soal yang sedikit bingung bagiku. Akupun menanyakan soal tersebut kepada Nevidza. “Nevidza, bisa minta tolong?” tanyaku. “Oh, bisa. Apa yang bisa ku tolong?” jawabnya. “Begini, bisakah kau memberitahuku rumus soal nomor 4 ini. Aku sedikit tak mengerti, karena saat Ibu Susi menjelaskan, aku tidak berada di kelas.” Kataku. “Oh, yang ini. Ini rumusnya W=V*I*t, V= 220V, I=5A, dan t=3600sekon. Semuanya dikali dan dapatlah hasilnya. Bisa kan?” jawabnya. “Yaya, aku mengerti. Terima kasih” ujarku. “Ya, sama-sama” jawabnya kembali. Saat pergi dari meja Nevidza, aku tersenyum-senyum sendiri.

Terdengar kabar, bahwa Nevidza suka sama seorang c
owok kelas sebelah. Namanya Feri, seorang cowok yang pintar, cantik, putih, tinggi, baik, dan sifat baik lainnya.

Kabar itu diperoleh dari twitter Nevidza yang suka bertanya mengenai kabar Feri. Aku cemburu, kecewa, kesal
tak karuan dengan kabar ini. Meski aku belum memastikannya.
Saat aku membuka twitter, hal itu benar-benar terjadi. Bahkan, beberapa menit yang lalu, Nevidza mengungkapkan perasaannya kepada Feri. Namun, itu belum direspon oleh Feri. Sehingga aku belum mengetahui jawabannya.

Esoknya, aku melihat Nevidza bersama Feri. Dengan segera aku masuk ke kelas dan bertanya pada Isa. “Sa, Nevidza jadian sama Feri?” tanyaku. “Iya, emang kamu gak liat di twitter? Nevidza nembak Feri dan Feri terima!” jawab Isa. “Iya aku tahu. Tapi saat itu Feri menjawabnya lama. Jadi langsung aku tutup” jawabku kembali. “Nggak lama kok, paling Cuma 10 menit.” Ujar Isa. Aku kecewa.

Sejak itu aku berubah. Suka ngelamun, marah-marah gak jelas, cuek, acuh, sampai-sampai nggak perduli orang disekelilingku. Aku duduk di bangku dekat pohon di taman sendirian. Tiba-tiba ada yang menghampiriku. Dan ternyata itu Nevidza.
“Kenapa kamu? Beberapa hari ini, aku lihat kamu sering ngelamun? Biasanya kamu itu aktif banget. Nggak seperti saat ini?” tanya Nevidza sedikit perduli. Aku diam tanpa menjawab semua pertanyaan Nevidza. “Hey? Apakah kau punya masalah? Kau bisa berbagi ceritamu kepadaku” tawar Nevidza “Tidak! Terima kasih. Aku tak mau membagi masalahku pada orang lain. Cukup aku dan Allah yang tahu. Permisi aku harus pulang” jawabku sambil berjalan pulang. “Ayo, aku antar?” tawarnya kembali. “Tidak, terima kasih” dengan segera meninggalkan Nevidza.

Satu bulan berlalu. Dan selama 1 bulan itu, aku tak pernah membuka twitter atau media sosial lainnya. Aku takut hatiku tak bisa menerima kepahitan setelah aku membaca pesan Nevidza dan Feri.
“Nak, Ibu ada keperluan diluar. Kalian kerjakan Fisika hal 137. Assalammualaikum.” Ujar Bu Susi sembari meninggalkan kelas. Aku tak sepandai Nevidza dalam pelajaran ini, sehingga aku selalu bertanya kepada orang yang lebih mengerti fisika. Aku merasa bingung dengan soal nomor 9. Aku bertanya kepada Isa, tapi ia juga tak mengerti. Begitu juga Sisil, Nasya dan Reni.
“Sini, biar aku bantu. Nomor 9 kan?” tawar Nevidza. Aku terdiam sejenak lalu menjawab “Nggak perlu! Aku takut nanti ada yang cemburu!” kataku. “Maksud kamu Feri? Ya enggaklah, jarak kelas kita sama dia kan jauh, pasti nggak kedengeran. Lagian aku udah putus sama dia” “Oh!”
“Tunggu! Kamu itu kenapa sih? Kok sifat kamu dingin banget sama aku. Aku coba baikin kamu, toh kamunya tetep begitu. Emang apa salah aku?” tanya Nevidza. “Udahlah! Aku mau pergi buat nanya soal ini ke orang lain” jawabku. “Tunggu dulu, emang apa salah aku sampe sifat kamu sedingin ini ke aku? Baiklah, kalau aku ada salah, tolong maafkan aku!” pinta Nevidza “Kamu nggak perlu tahu apa masalah aku. Dan kamu nggak perlu minta maaf karena kamu nggak tau masalahnya!” Aku segera pergi ke meja lain, tak memperdulikan hirauan Nevidza lagi.

Setelah sholat, makan siang, aku segera membuka laptopku dan membuka twitter. Aku kaget, kita melihat interactions. Banyak sekali mention yang masuk dan kagetnya lagi itu semua dari Nevidza. Yang isinya “
Jeihan, salah apa sih aku sampe kamu segini dinginnya kamu ke aku? Kalau aku salah, aku minta maaf. Aku juga gak mau kalau kita terus-terus begini.” “Kan udah aku bilang, gak ada apa-apa. Kamu nggak perlu minta maaf, udah aku maafin. Kamu juga nggak tahu masalahnya dan nggak akan pernah tau masalahnya” jawabku. Karena kesal, aku langsung mematikan laptopku.
Esoknya, disekolah, semua temanku bertanya hal yang sama, yaitu “
Jeihan, kamu itu ada masalah apa sama Nevidza? Sampe-sampe Nevidza ngemis-ngemis minta maaf sama kamu. Kalo emang ada masalah, maafin aja. Kasihan liat Nevidza sampe harus minta maaf kayak gitu” “Nggak ada apa-apa” hanya itu jawabku.

Aku menghampiri Nevidza dan berkata “Nevidza! Udah cukup minta maafnya. Twitter aku penuh mention-mention dan DM dari kamu. Kan aku udah bilang kalo kamu nggak salah. Kamu peka dikit dong. Aku juga udah maafin kamu.” “Iya, maaf kalo aku terlalu banyak minta maaf. Aku takut kamu bakal benci sama aku.” jawabnya “Nggak kok, kita kan teman.” Jawab balikku “Cuma teman?..” bersamaan dengan Nevidza bicara bel masuk berbunyi. “Apa katamu?” tanyaku “Nggak papa” jawabnya. Kami masuk kelas bersama.

Setelah belajar Matematika, kami ke lab untuk belajar biologi. Aku mau mengajak Nevidza untuk ke lab bersama. Namun, tanganku langsung ditarik Isa dan Reni untuk ke lab bersama. Dan meninggalkan Nevidza. Setelah 10 menit di lab, aku baru sadar bahwa tak ada Nevidza disini. Aku meminta izin kepada Pak Wono untuk ke kelas mengecek keberadaan Nevidza.

Saat itu Nevidza seperti sedang tidur dengan kepala menunduk. “Nevidza, ayo ke lab. Pelajarannya sudah di mulai. Bangun, nanti kamu dimarahin Pak Wono karena tidak mengikuti pelajarannya. Kamu mau dimarahin Pak Wono yang super ganas itu? Nanti kamu disuruh lari 10 kali keliling lapangan mau? Ayo bangun!” Nevidza tetap diam, tanpa sedikit pun tubuhnya bergerak. Saat ku angkat kepalanya dan ku pegang. Tubuhnya sangat panas dan wajahnya pucat. Aku panik, dan segera membawanya ke UKS sendirian karena murid yang lain berada di lab. Aku membawa Nevidza ke UKS dengan merangkulnya.

Beberapa menit kemudian Nevidza sadar, setelah ditangani dengan Fajar anggota PMR. Saat Nevidza sadar ia memanggil namaku. “
Jeihan ! Jeihan ! Iya, aku disini.” Jawabku dengan sedikit meneteskan air mata. “Kamu kenapa nangis?” tanya Nevidza. “Hah? Nggak nangis kok.” Jawab ku dengan segera mengusap air mataku. “Itu, kamu nangis. Udah jangan nangis, aku nggak mau air mata kamu terbuang percuma!” kata Nevidza. “Iya, aku memang nangis. Aku nangis karena kamu!” jawabku kepada Nevidza “Karena aku? Udah, kamu nggak perlu nangis. Ini cuma pusing sedikit aja kok!” jawab santai Nevidza.
“Tubuh kamu panas banget, tuh, muka kamu aja sampe pucat gitu.” Udah kamu istirahat disini ya. Aku mau ngelanjutin pelajaran.” “Tunggu, aku mau ikut” Beranjak dari tidurnya. “Nggak usah, istarahat disini aja. Nanti biar aku ajarin pelajaran yang kamu tinggal. Kalau kamu ikut, terus tiba-tiba kamu jatoh gimana? Yang susah siapa? Udah disini aja, sampe pulih.” Kataku pergi meninggalkannya dengan tersenyum, ia pun membalas senyum itu.
Bel pulang berbunyi, dengan segera aku ke UKS untuk menemui Nevidza. Setibanya disana, aku tak melihat Nevidza disana. “Fajar, dimana Nevidza?” tanyaku pada Fajar. “Tadi selang beberapa menit setelah kamu kembali ke lab. Nevidza sesak nafas sehingga aku dan Pak Burhan membawanya ke rumah sakit. Setelah keluarganya datang, aku dan Pak Burhan pulang. Kata dokter, Nevidza mengalami penyakit komplikasi yaitu asma, tifus, dan radang ginjal. Penyakit itu tibul karena istirahat yang tidak cukup dan makan tidak teratur.” Jawab Fajar. “Baiklah, terima kasih Fajar” jawab balikku menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, aku melihat keluarga Nevidza bersedih dengan cobaan ini. Aku pun mencoba menenangkan keluarganya, terutama ibunya yang paling kaget mendengar kabar ini. Hingga akhirnya ia sedikit lebih tenang.

Pukul 18.00 “Tante, sebaiknya Tante dan yang lain pulang. Tante disini sudah seharian. Biarkan aku yang menjaga Nevidza. Jika Nevidza sudah sadar, akan ku kabari. Aku juga sudah bilang pada Ibuku jika aku akan menjaga Nevidza seharian ini. Ibuku tak menolaknya, besok ia akan menjenguk kemari. Lagian besok juga libur. Lebih baik Tante dan yang lain pulang untuk istirahat” kataku pada Ibu Nevidza. “Baiklah, kau hati-hati disini. Tolong jaga Nevidza baik-baik. Terima kasih atas kebaikanmu. Tante permisi dulu” jawab Tante keluar dari kamar pasien.

Tepat pukul 21.00 di saat aku tengah tertidur karena kecapekan. Nevidza sadar dan memanggil namaku kembali. “
Jeihan ! Jeihan !” teriak Nevidza. Aku bangun dan menghampirinya. “Ada yang ingin ku katakan padamu!” ujar Nevidza. “Apa yang ingin kau katakan?” jawabku. “Sejujurnya, aku putus sama Feri itu karena kamu.” Kata Nevidza. “Karena aku? Apa hubungannya denganku?” jawabku kembali. “Ya. Aku putus dengan Feri karena kamu. Aku merasa ikut sedih ketika kamu setiap hari murung dan sukanya ngelamun. Aku tau kau sedih karena aku. Ya, karena aku jadian sama Feri. Ya kan?” tanyanya. “Dari mana kau tau itu?” tanya balikku.
“Aku mengetahui semua hal itu dari Isa. Isa memberitahuku bahwa kau suka merenung karena orang yang kau suka pacaran dengan orang lain. Sebab itu, aku selalu berusaha untuk menghiburmu agar kau bisa tersenyum. Tapi, semua usahaku terbuang sia-sia. Kau tetap saja seperti itu, bahkan kau melebihi itu. Hari ke 27 aku berpacaran dengan Feri. Aku merasa bahwa aku cinta sama kamu. Sebab itu perhatian aku kurang ke Feri. Dan tepat satu bulan, Feri mungkin kesal dengan sifatku. Sehingga ia mengajakku untuk putus. Saat dia memutuskan hubungan ini, hati ini gak ada rasa kecewa. Dari situlah aku yakin kali aku tak mencintai Feri. Tapi aku mencintaimu.” Jawabnya.
“Mungkin, aku pun harus jujur. Aku suka sama kamu sejak awal kita kenal. Sejak kamu selalu membantuku menyelesaikan soal fisika. Tapi, aku merasa kecewa mendengar kabar bahwa kau jadian bersama Feri. Hal itulah yang membuatku suka murung, ngelamun, dan marah-marah gak jelas sama orang yang nggak salah.” Ujarku
“Baiklah, aku ingin menghapus semua kekecewaanmu, semua kebencianmu, semua kekesalanmu kepadaku.” Nevidza menarik nafas dan berkata “
Jeihan, aku sangat mencintaimu. Aku sangat menyukaimu. Aku sangat menyayangimu. Sebab itu, maukah kau jadi pacarku?”
Aku terdiam sejenak. “Aku terima, asalkan kau harus makan yang teratur, istirahat yang cukup, agar kau bisa cepat sembuh.” Kataku “Siap, bos” jawab Nevidza. Kami pun tertawa. Aku pun mengabari Ibu Nevidza. Setibanya Ibu Nevidza ke rumah sakit, aku di a
ntar pulang saudara perempuan Nevidza.

Esoknya, aku segera ke rumah sakit untuk menjenguk Nevidza kembali. Namun sayangnya, saat aku temui Nevidza,
yang ada hanyalah keluarga Nevidza yang sedang menangis. Aku cemas bercampur takut,  dan bertanya pada saudara perempuannya “Kak, apa yang terjadi? dimana Nevidza?” tanyaku dengan terus menerus. “Nevidza telah berpulang kepada-Nya. Setelah selesai mengerjakan semua soal fisika. Ia kembali mengalami sesak nafas. Nevidza tak berhasil diselamatkan. Ia menitipkan ini untukmu” jawabnya sambil memberi sebuah surat dan buku.
“Untuk Jeihan. Mungkin, ketika kau membaca surat ini. Aku telah terbaring lemah tak bernafas, jantung tak berdetak, nadi tak berdenyut. Maafkan aku jika harus meninggalkanmu secepat ini. Aku sudah tak tahan dengan penyakit yang menggrogoti tubuhku ini. Dan maaf, aku tak bisa membantumu dalam mengerjakan soal fisika lagi. Untuk itu, telah ku siapkan buku yang berisi semua jawaban dari soal di buku. Jika kau kesusahan, pakailah buku itu. Tak lupa, aku menulis rumus-rumusnya sehingga kau selalu bisa menggunakannya setiap waktu. Kau harus menjaga buku ini. Dan kau harus belajar dari buku ini. Dan, satu lagi, kau harus mengalahkanku dengan menjadi juara kelas. Terima kasih atas semua pengorbananmu untuk mendapatkan cintaku. Assalammualaikum..”

Aku menangis tersedu-sedu membaca surat itu. Baiklah Nevidza, aku akan berjanji! Aku akan menjaga dengan baik buku ini! Aku akan merawat buku ini agar tidak kusam termakan usia! Aku akan belajar dari buku ini sehingga dapat mengalahkanmu sebagai juara kelas! Terima kasih atas cintaku yang telah kau balas. Meski hanya dalam hitungan jam. Ku harap kau disana baik-baik saja. Kelak kita akan bertemu dan kembali bersama…
……




END


Cinta Abadi sang Cicak



Saat kita sedeng merenovasi rumah kita, pekerja akan mencoba merontokan tembok. Rumah-rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong di antara tembok yang terbuat dari kayu. Saat tembok mulai remuk dan rontok, Uun menemukan seekor cicak yang terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah surat yang terlampir di lantai rumah. Uun merasa kaget, kasihan dan penasaran dengan kejadian itu. Lalu ketika Uun mengambil dan menecek surat tersebut, ternyata surat tersebut telah berada di rumah itu sejak 12 yang tahun lalu setelah rumah itu pertama kali selesai dibangun.
Lantas apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu bisa bertahan dengan kondisi terperangkap selama 12 tahun? Dalam keadaan gelap dan tertutup selama 12 tahun lamanya,tanpa dapat  bergerak sedikit pun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Uun sejenak lalu berpikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 12 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada surat itu! Bagaimana dia makan, minum dan lainya, bagaimana?
Uun lalu menghentikan pekerjaannya sejenak dan memperhatikan cicak tersebut . Apa yang cicak itu dilakukan dan apa yang dimakannya sehingga dapat bertahan sedemikian lamanya. Kemudian, tidak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba seekor cicak lain muncul dengan membawa makanan di mulutnya.Uun merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 12 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta, cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor cicak itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? Tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 12 tahun. Bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.
Mari Introspeksi diri sendiri, dan bagimana carayang kita lakukan kepada orang yang selalu menyayangi diri kita, terutama kedua orang tua kita !!



Kisah cinta pertama dalam bus


“Krekk…..krek….kre..jreng..krekkkkk”
suara petikan gitar dari seorang pengamen jalanan yang begitu kasar yang membangunkan tidurku di bis antar kota. Aku sudah terbiasa mendengar petikan gitar ini, tidak selembut yang aku inginkan. Petikan yang sama untuk semua lagu. Aku merasakan demikian. Entah tak tahu bagaimana orang lain merasakannya. Mungkin sama atau tidak dengan yang aku rasakan.

Terlihat dua orang pengamen berada di deret antar bangku bis. Mereka membawa gitar dan gendang kecil
sebagai alat music mereka. Baju yang dikenakannya tampak compang camping dan kumal. Wajahnya kusam. Mungkin karena terlalu lama terkena sengatan matahari dan naik-turun bis. Berbekal gitar dan gendang kecilnya mereka berduet ala penyanyi di panggung hiburan. Sungguh besar mental yang mereka miliki.  Pengamen yang satu menyanyi lirik ini dan satunya melanjutkan lirik yang lain. Begitu seterusnya. Kudengarkan lirik demi lirik lagu yang mereka nyanyikan. Lagunya begitu menyentuh dan suara mereka begitu syahdu. Entah apa yang aku rasakan, aku benar-benar tersentuh ketika mereka menyanyikan lagu itu. Lagunya “ Zifilia, Pintu Taubat”





Begitu menyentuh kumendengarkannya. Apalagi yang menyanyikannya pengamen. Terasa tak sanggup kudengarkan lagu ini. Sungguh menyayat hatiku. Tak tersadar air mataku terjatuh sedikit demi sedikit. Aku sadar hidupku penuh dengan dosa. Akulah Hamba-Mu yang tak pernah luput dari dosa dan kesalahan yaa Allah. Mereka begitu merdu dalam menyanyikannya. Walaupun iringan musiknya tak selaras dengan nada lagunya. Bagiku tak masalah, yang terpenting adalah mereka mampu membawakannya dengan syahdu dan penuh haru.

Air mataku tak bisa tertahankan lagi, jatuh dan terus terjatuh
melalui  pipiku . Tak perlu malu dan muna untuk mengakuinya, memang aku sedang menangis. Aku mudah tersentuh dengan nyanyian sebuah lagu. Kupandangi kiri jalan di sebelahku lewat jendela kaca. Berharap air mata ini tak menetes lagi. Tapi, sia-sia. Selagi pengemen itu belum berhenti bernyanyi, ku tak bisa menahan derasnya air mataku.

Tiba-tiba, sesosok lelaki menyodorkan tisu puti
h kepadaku. Tak ada kata yang ia ucapkan, hanya untaian senyuman hangat dari wajahnya yang bisa kulihat. Wajahnya tampak belas kasihan melihatku yang terus menangis mendengar lantunan lagu itu.
“Terimaksih, tak usah repot-repot” ucapku pelan.
“ Udah ambil aja, aku ikhlas kok. Aku tahu kamu menangis. Kamu tersayat-sayat hatinya kan mendengar lagu itu?” tegasnya tenang.
Pertanyaan yang membuatku tersipu malu. Memang benar aku menangis menikmati lantunan indah lagu ini. Diapun bisa merasakannya. Timbul pikiran yang tak menentu. Jangan-jangan dia memperhatikanku selama di perjalanan. Ah, sudahlah. Tak penting.

Kuterima pemberian tisunya.
Terimakasih yaa..” ungkapku pelan.
“Bener banget,aku begitu menikmati lantunan lagu ini, brgitu indah dan haru. Terlebih yang menyanyikannya pengamen jalanan.”
Terlihat wajah lelaki itu sedikit haru dan pilu. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama denganku. Buktinya, matanya memerah.
“Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Tapi, tak sepertimu, mudah sekali menangis. Kalo aku mending menangis dalam hati biar tak seorangpun tahu” tuturnya serasa membela kaum pria yang penuh kejantanan.
“Memang sih, masa cowo menangis mendengar lagu kayak gitu. Kagak jantan banget.Hehehe” sambungku sembari mengusap air mata di pipiku.
“Nangis aja pake ketawa, kamu lucu tahu. Jarang ada cewe kaya kamu yang kelihatnnya maco, tomboy, tapi hatinya lemah dan mudah tersentuh. Heheheh” Ucapnya.

Sejeenak kuterdiam. Memang penampilanku begini, tomboy dan maco. Tapi, aku memang cewe yang identik dengan hati yang lembut dan mudah tersentuh. Kupikir benar juga yang dikatakan lelaki yang sok akrab denganku itu. Entah siapa namanya yang jelas dia baik hati.
“Bisa saja kamu, walaupun seperti ini penampilanku, tapi aku memang cewe. Layaknya cewe lain.” Ucapku sedikit tegas.
“Hehehhe yang jelas aku tahu kamu. Walupuan pemanlilanmu kayak gitu, tapi kamu tetep aja cewe yang tercipta dengan hati yang lembut.” Sahutnya tenang.

Percakapan kita sejenak terhenti. Kedua peng
amen  itu sudah selesai berduet. Diambilnya topi yang dikenakannya sembari mengelilingi semua penumpang. Berharap penumpang menyisihkan sebagian rejeki yang dimilikinya. Disodorkannya topi itu di hadapanku dan lelaki di sampingku. Untungnya sudah kupersiapkan uang recehan sejak dari kost untuk pengamen. Kuberikannya kepada pengemen itu. Diapun menatap wajahku dan mengucapkan terimakasih.
“Sungguh pengamen yang sopan” batinku. Percakapan dengan orang yang tak kukenal kembali kulanjutkan. Entah siapa orang itu yang jelas dia sudah mau berbicara denganku. Mungkin kalo tidak ada orang itu, aku selalu terdiam dan menikmati lantunan lagu dari pengamen sendirian.
“ Iya, iya. Aku memang cewe.” Ucapku sedikit sewot.
“ Haduw, cewenya cemberut ni.” Ungkapnya sambil meledekku. Memang aku sedikit marah sama dia. Dia sok akrab soalnya dan meledek terus. Kalo si kampus, hampir semua cowo yang godain aku dan temanku udah pernah mendapatkan kado tamparan dariku.
“Ow, siapa yang marah. Enak aja”
“ Hmm, ya udah kalo gak mau ngaku. Eh, kamu mau turun dimana?” tanyanya.
“ Bentar lagi juga sampai, di simpang lima. Kamu dimana?” tanyaku balik.
“ Aku di perempatan depan” jawabnya pelan.
“ Oh, berarti kamu dulu dong yang turun.” Tanyaku lagi
“ Iya, hati-hati yaa? Jangan nangis lagi. Nanti gak ada yang kasih kamu tisu lo.heheh” ucapnya sambil meledekku.
“Iyalah, iya. Uh, kamu. Iya gak lah. Emang aku cengeng banget apa, yang tadi tuh, gara-gara lagunya bikin nangis.huuh” jelasku.
“Ya udah yaa, hehhe. Aku mau turun. Daaa.
Sampai jumpa lagi.”.
“iya, daa..”

“Tanjung. Tanjung. Tanjung” ucap kenek bis di samping pintu. Lelaki itupun maju ke depan sambil menatapku seraya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Bispun berhenti di Tanjung dan lelaki itupun turun. Tanjung adalah nama dari sebuah perempatan di Banyumas, Purwokerto.
Dari jendela kaca, kulihat sosok lelaki itu yang masih mencari sosokku. Di tersenyum setelah melihatku. Senyuman hangat darinya selalu terkenang di hidupku. Sungguh kutemukan lelaki yang beda dari biasanya. Di kampus, jarang sekali lelaki seperti dia. Semuanya gombal dan terlalu alay. I
damn.
“Oh, iya, aku lupa. Kenapa tadi aku gak kenalan sama dia. Ya ampun?’’ pikirku.

Penyesalanku tuk yang pertama kalinya menyia-nyiakan lelaki yang sudah baik denganku dan mampu mengambil hatiku. Aku terlalu
sok kece di depan dia. Jadinya begini, nyesel di ujungnya. Di perjalanan menuju kampung halamanku. Kududuk sendirian. Kumerenung dengan kejadian tadi. Pengamen dengan lagu yang dinyanyikannya dan lelaki itu.
“ Kenapa di jaman seperti sekarang ini, masih banyak pengamen jalanan yang seperti mereka? Tak memiliki keluarga yang utuh. Hidupnya di jalanan dan harus mengumpulkan recehan demi recehan untuk makan. Uang sangat berarti untuk kehidupannya. Recehan yang seolah tak ada artinya untuk mereka yang berdasi, bagi mereka itulah kehidupannya. Aku salut kepada mereka. Itulah pekerjaan mereka. Tanpa rasa malu dan ragu mereka bernyanyi, mengumpulkan uang untuk makan. Mungkin kalo tidak ada pengamen kita tak akan pernah ada yang mengingatkn memberi sebagian rejeki untuk mereka.” Pikirku.

Lelaki itu sudah baik denganku. Walaupun ku tak tahu siapa dia, yang jelas dia sudah memberiku sedikit lentera untuk tidak memandang rendah kaum pria.
Tak disadari, akupun tertidur. Hal yang sudah biasa terjadi padaku. Bagitu pulasnya tertidur di bis. Aku sampai lupa kalo sebentar lagi turun. Mungkin kenek bis sudah berkoar-koar menyebut simpang lima. Aku tak mendengarnya. Mungkin karena aku begitu capek dan pulas tidur di bis.

“Persiapan. Terminal, terminal, terminal. Cek barang bawaan kalian terlebih dahulu sebelum turun. Kami tidak bertanggungjawab dengan barang yang sudah hilang.” Ucap kenek bis dengan nada keras dan ngapak.
“oh, my God. Ini sudah terminal” batinku.
Padahal harusnya aku turun di simpang sebelum terminal. Ini pasti akibat terlalu memikirkan lelaki itu dan terlalu pulas tidur. Terpaksa aku harus ngojek ke simpang lima menemui bapakku di sana.

No comments:

Post a Comment